..

love

Kamis, 30 Mei 2013

Apresiasi Cerpen Waktu Nayla

OLEH : Djenar Maesa Ayu

Data hasil cerpen yang saya baca :
v  Jumlah paragraf : 27 paragraf.
v  Tokoh : nayla
v  Alur  : campuran.
Nayla melirik arloji di tangan . baru jam lima petang , nsmun langit begitu hitam . matahari sudah lama tenggelam. Ia memijat nomor satu nol tiga. Terdengar suara operator dari seberang “waktu menunjukkan pukul tujuh belas , nol menit ,dan tiga puluh detik”.
Waktu bukanlah sesuatu yang patutu di resahkan . karena waktu yang berjalan hanyalah roda yang berputar tiga ribu enam ratus detik kali duia puluh empat jam. Gerakan mekanis reunitis kehidupan . menggeling di atas jalan bebas hambatan . sementara banyak yang sudah terlupakan. Suara  mesin memmbahana dalam kamar yang lenggang. Ruih rendah suara kayawan di kafetaria gedung perkantoran . ngeceng di plaza senayan , mengeluh bersama sahabat tentang cinta bertepuk sebelah tangan .menapir pipi laki-.laki kurang ajar di diskotik . menghapus air mata yang menitik . melamun. Membaca stensilan  , makan nasi goreng kambing ramai-ramai dalam mobil di pinggir jalan . masak indomie rebus kari rasa ayam . menatap matahari terbenam nonton formula one piala dunia di sport bar.
v  Pendekatan :  kontekstual
v  Hal yang menarik :
-          Ia menjadi muram seperti cahaya bulan yang bersinar suram.
-          Ia tidak ingin kehilangan kesempatanuntuk melakukan bnayak hal yang belum sempat ia kerjakan .
-          Waktu bagaikan pembunuh yang selalu membuntuti dan mengintai dalam kegeglapan
-          Waktu adalah pelengkap.
-          Yang tertlupakan adalah waktu yang mengalir dalam lautan debar , samudra getar , cakrawala , harapan.
-          Hatinya membatu.
-          Semua orang harus tepat waktu pada tujuan.
-          Nayla ingin menunda kematian.
-          Nay;la merasa sudah tidak mempunyai waktu untuk sekedar memanjakan perasaan.
-          Hidup adalah ibarat mobil berisikan satu tanki penuh bhan bakar.
-          jam tanganya berubah menjadi sapu , mobil jadi labu dan dirinya menjadi abu.

WAKTU NAYLA
Karya : djenar maesa ayu
                   Dalam penulisan apresiasi prosa fiksi dalam cerpen waktu nayla saya menggunakan pendekatan kontekstual karena pendekata ini memandang prosa fiksi sebagai hasil cipptaan pengarang berdasarkan bahan-bahan yang di angkat dan realitas (pengalaman hidup penulis atau hasil penghayatan penulis terhadap kehiduapan ) .
                hal tersebut menunjukkan bahwa untuk dapat memahami prosa fiksi secara mendalam dalam kawasan kontekstual ini diperlukan aktivitas diaolog secara instentif antara openghayatan dan pemahaman terhadap apa yang di  tulis oleh penulis dengan pengetahiuan dan pengalaman hoidup seorang apresiator.
Saya mengambil salah satu dari hal yang menarik dari cerpen tersebut untuk di jatukan judul yaitu waktu adalah pelengkap , karena bagi kita semua waktu itu adalah uang dimana kita jangan pernah menunnda waktu yang gtelah di sediakan dan jangan sampai menunda sesuta pekerjaan untuk waktu yang tidak penting . nayla melirik arlkoji di tangan kannaanya. Baru jam lima petng . namun langit begitu hitam , matahari sudah lama tenggelam . ia menjadi muranm seperti bcahaya bulan yang bersinar muram.
Ia harus menemukan seseorang untuk memberikan informasi waktu yang tepat . tapi jika ia nayla berhenti dan bertanya , berarti ia akan kehilangan waktu . sementara masih begitu jauh jarak yang harus di lampaui untuk mencapai tujuan . nayla sangayt tidak ingin kehilangan waktu. Sepeti juga ia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk melakukan banyak hal yang belum sempat ia kerjakan.
Kalau itu waktu adalah pelengkap sebuah sarana . mempermudah  kegiatannya sehari –hari menuntunya menjadi roda kebahagiaan keluarga. Mengingatkan kapan  saatnya menabur bunga pada makam orang tua , nenek , kakek yang leluhur . membeli hadiah natal , ualang tahun dan hari kasih sayang . mengirim pesan sms kepada si pencari nafkah supaya tidak terlambat makan . tempat les. Bercinta berdasarkan sistem kalender ckapan sperma baik untuk di masukkan kdan kapan lebih baik di keluarkan di luar .
Melaju kencang ke pusat getaran yang mendebarkan . tapi mimpi juga terbatas waktu debaran itu mendadak buyar ketika terdengar suara ketukan pembantu di pintu kamar . suara kokok ayam jantan ,kicau burung kamilau sinar matahari merobos jendela
Dan suara alamr jam katika jarum panjangnya menunjuk angka dua belas dan jarum pendeknya menujuj angka eanam , suara alamr itu adalah suara yang sama denagn suara dokter yang mebyampaikan bahwa sudah terdeteksi sejenis kanker ganas pada ovarium . suara alamr itu adalah suara yang sama dengan dokter yang memvonis umur nayla hanya akan bertahan maksimal satu tahun kedepan.
Suara alarm itu adalah suara yang sama suara yang menyadarkan nya kembali dari pengaruh hipnotis bandul masa lalu, masi kini dan masa depan.
Semua orang harus tepat waktu pada tujuan. Semua orang tidak lagi pumya kesempatan untuk sekedar berhenti memandang embun sebelum menitik ke tanah , matahari yang bersinar tidak terlalu cerah . awan berhenti mutiara semar dan gajah . kelopak bunga  mulai merekah kaki anjing pincang sebelah . semut terinjak hingga lebur dengan tanah pada menguning di sawah . burung bercinta di atas rumah . semua porang melangkah bagai tidak menjejeak tanah .
Apa yang sedang menghianati dirinya hingga ia merasa sama sekali tidak bersalah atas debaran di dadanya yang begitu memancau .? apa yang sedang membari pengakuan ia merasa begitu lama membuang =buang waktu ? apakah hidup di berikan supaya manusia tidak punya pilihan selain berrbuat baik. Dan mengapa pertanyaan ini baru datang ketikan sang algojo waktu sudah mengulurkan tangan ? mungkin hidup ibarat mobil berisikan satu tanki penuh bahan bakar.
Nayla memacu laju mobil semakin kencang , memburu kesempatan untuk bersimpuh memohon pengampunan atas dosa-dosa yang nayla n sesali tidak sempat ia lakukan sebelum jam tanganya berubah menjadi sapu , mobil jadi labu dan dirinya menjadi abu.
  
Waktu Nayla (by Djenar Maesa Ayu)
oleh PULPEN (Kumpulan Cerpen) (Catatan) pada 17 Januari 2012 pukul 20:04
Nayla melirik arloji di tangan kanannya. Baru jam lima petang. Namun, langit begitu hitam. Matahari sudah lama tenggelam. Ia menjadi muram seperti cahaya bulan yang bersinar suram. Hatinya dirundung kecemasan. Apakah jam tangannya mati? Lalu jam berapa sebenarnya sekarang? Nayla memeriksa jam di mobilnya. Juga jam lima petang. Jam pada ponselnya pun menunjukkan jam lima petang.
Ia memijit nomor satu nol tiga. Terdengar suara operator dari seberang, "Waktu menunjukkan pukul tujuh belas, nol menit, dan dua puluh tiga detik."
Lalu manakah yang lebih benar. Penunjuk waktu atau gejala alam? Nayla menambah kecepatan laju mobilnya. Kemudi di tangannya terasa licin dan lembab akibat telapak tangannya yang mulai basah berkeringat.
Ia harus menemukan seseorang untuk memberinya informasi waktu yang tepat. Tapi jika Nayla berhenti dan bertanya, berarti ia akan kehilangan waktu. Sementara masih begitu jauh jarak yang harus dilampaui untuk mencapai tujuan. Nayla sangat tidak ingin kehilangan waktu. Seperti juga ia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk melakukan banyak hal yang belum sempat ia kerjakan.
Namun Nayla pada akhirnya menyerah. Ia menepi dekat segerombolan anak-anak muda yang sedang nongkrong di depan warung rokok dan menanyakan jam kepada mereka. Tapi seperti yang sudah Nayla ramalkan sebelumnya, jawaban dari mereka adalah sama, jam lima petang. Hanya ada sedikit perbedaan pada menit. Ada yang mengatakan jam lima lewat lima, jam lima lewat tiga, dan jam lima lewat tujuh.
 Nayla semakin menyesal telah membuang waktu untuk sebuah pertanyaan konyol yang sudah ia yakini jawabannya, yaitu jam lima petang. Berarti benar ia masih punya banyak waktu. Sebelum jam tangannya berubah jadi sapu, mobil sedannya berubah jadi labu, dan dirinya berubah menjadi abu.
***
Entah kapan persisnya Nayla mulai tidak bersahabat dengan waktu. Waktu bagaikan seorang pembunuh yang selalu membuntuti dan mengintai dalam kegelapan. Siap menghunuskan pisau ke dadanya yang berdebar. Debaran yang sudah pernah ia lupakan rasanya. Debaran yang satu tahun lalu menyapanya dan mengulurkan persahabatan abadi, hampir abadi, sampai ketika sang pembunuh tiba-tiba muncul dengan sebilah belati.
 Sebelumnya Nayla begitu akrab dengan waktu. Ketika cincin melingkar agung di jari manisnya. Ketika tendangan halus menghentak dinding perutnya. Menyusui. Memandikan bayi. Bercinta malam hari. Menyiapkan sarapan pagi-pagi sekali. Rekreasi. Mengantar anak ke sekolah. Membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Memarahi pembantu. Membuka album foto yang berdebu. Mengiris wortel. Pergi ke dokter. Menelepon teman-teman. Berdoa di dalam kegelapan. Doa syukur atas kehidupan yang nyaris sempurna. Kehidupan yang selama ini ia idam-idamkan.
Kala itu, waktu adalah pelengkap, sebuah sarana. Mempermudah kegiatannya sehari-hari. Menuntunnya menjadi roda kebahagiaan keluarga. Mengingatkan kapan saatnya menabur bunga di makam orang tua, kakek, nenek dan leluhur. Membeli hadiah Natal, ulang tahun dan hari kasih sayang. Mengirim pesan sms kepada si Pencari Nafkah supaya tidak terlambat makan. Memperkirakan lauk apa yang lebih mudah dimasak supaya tidak terlambat menjemput anak di tempat les. Bercinta berdasarkan sistem kalender, kapan sperma baik untuk dimasukkan dan kapan lebih baik dikeluarkan di luar.
Waktu bukanlah sesuatu yang patut diresahkan. Karena waktu yang berjalan, hanyalah roda yang berputar tiga ribu enam ratus detik kali dua puluh empat jam. Gerakan mekanis rutinitas kehidupan. Menggelinding di atas jalan bebas hambatan. Sementara banyak yang sudah terlupakan. Suara mesin tik membahana dalam kamar yang lengang. Riuh rendah suara karyawan di kafetaria gedung perkantoran. Ngeceng di Plaza Senayan. Mengeluh bersama sahabat tentang cinta yang bertepuk sebelah tangan. Menampar pipi laki-laki kurang ajar di diskotik. Menghapus air mata yang menitik. Melamun. Membaca stensilan. Makan nasi goreng kambing ramai-ramai dalam mobil di pinggir jalan. Masak Indomie rebus rasa kari ayam. Menatap matahari terbenam. Nonton Formula One atau Piala Dunia di Sports Bar.
Menatap mata kekasih dengan berbinar-binar. Bersentuhan tangan ketika memasangkan celemek di paha kekasih dengan tangan bergetar. Menanti dering telepon dengan hati berdebar. Memilih kartu ucapan rindu yang tidak terlalu norak tanpa lebih dulu menunggu hari besar datang dengan dada berdebar. Memilih baju terbaik setiap ada janji dengan pacar dengan jantung berdebar. Menanti pujian dengan rasa berdebar. Bercinta dengan rasa, jantung, dada, hati, tangan, kaki, payudara, vagina, leher, punggung, ketiak, mata, hidung, mulut, pipi, raga, berdebar.
Yang terlupakan adalah waktu yang mengalir dalam lautan debar, samudera getar, cakrawala harapan.
 ***
Mungkin Nayla tidak bermaksud dengan sengaja melupakan, ia hanya tidak sadar. Ia hanya pingsan keletihan dan belum jua siuman. Ia hanya terhipnotis bandul jam yang bergerak kiri kanan dan berdetak dalam keteraturan. Membuat raganya beku. Lidahnya kelu. Hatinya membatu. Imajinasinya buntu. Kadang dalam tidur imajinasinya memberontak terbang. Mengepakkan sayap bersama dengan burung-burung dan kupu-kupu. Mengendarai ikan paus di samudera lepas. Bungy jumping. Arung jeram. Baca komik Petualangan Tintin. Minum teh di atas awan sambil diskusi tentang cerpen Anton Chekov dengan almarhum ayah dan bertanya mana yang lebih mahal antara berlian dengan Fancy Diamond kepada almarhumah ibu. Menjadi Arnold Schwarzeneger dan menggagalkan aksi teroris yang hendak menabrakkan pesawat ke gedung World Trade Center. Menelan biji durian. Makan rambutan. Nonton Cirque du Soleil.
Nonton N'SYNC dan dipanggil ke atas panggung untuk diberi kecupan oleh Justin Timberlake. Bertinju dengan Moehammad Ali. Mengalahkan Michael Jordan. Merebut suami Victoria Beckham. Mengedit karya Gabrielle Garcia Marques. Minum sirup markisa. Baca puisi bareng Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bachri. Diculik UFO. Punya toko buku kecil di Taman Ismail Marzuki.
 Melaju kencang ke pusat getaran yang mendebarkan. Tapi mimpi juga terbatas waktu. Debaran itu mendadak buyar ketika terdengar suara ketukan pembantu di pintu luar kamar. Suara kokok ayam jantan. Kicau burung. Kemilau sinar matahari menerobos jendela. Dan suara alarm jam ketika jarum panjangnya menunjuk angka dua belas dan jarum pendeknya menunjuk angka enam. Suara alarm itu, adalah suara yang sama dengan suara dokter yang menyampaikan bahwa sudah terdeteksi sejenis kanker ganas pada ovariumnya. Suara alarm itu, adalah suara yang sama dengan suara dokter yang memvonis umur Nayla hanya akan bertahan maksimal satu tahun ke depan. Suara alarm itu, adalah suara yang sama dengan suara dokter yang mengatakan bahwa sudah tidak ada harapan untuk sembuh. Suara alarm itu, adalah suara yang menyadarkannya kembali dari pengaruh hipnotis bandul waktu masa lalu, masa kini dan masa depan.
***
Manusia sudah menerima hukuman mati tanpa pernah tahu kapan hukuman ini akan dilaksanakan. Karena itu Nayla tidak tahu mana yang lebih layak, merasa terancam atau bersyukur. Di satu sisi ia sudah tidak perlu lagi bertanya-tanya kapan eksekusi akan dilaksanakan.
Tapi apakah setahun yang dokter maksudkan adalah 12 bulan, 52 minggu dan 365 hari dari sekarang? Bagaimana kalau satu tahun dimulai dari ketika kanker itu baru tumbuh. Atau satu minggu sebelum Nayla datang ke dokter. Atau mungkin benar-benar pada detik ketika dokter itu mengatakan satu tahun. Lalu berapa lamakah waktu sudah terbuang? Dari manakah Nayla harus mulai berhitung?
Mata Nayla berkunang-kunang. Perutnya mulai terasa sakit seiring dengan bunyi dari segala bunyi jam, berdetak keras memekakkan telinganya. Satu, sepuluh, seratus, seribu, sepuluh ribu, seratus ribu, sejuta detik mengejar dan mengepung pendengarannya ke mana pun Nayla melangkah. Memaksa mata Nayla menyaksikan lalu lalang kaki-kaki bergegas, suara klakson dari pengendara yang tak sabaran, lonceng tanda masuk sekolah, jutaan tangan karyawan memasukkan kartu ke dalam mesin absen, aksi dorong mendorong masuk ke dalam bus, tubuh-tubuh meringkuk di atas atap kereta api, semua orang tidak mau ketinggalan.
Semua orang harus tepat waktu sampai di tujuan. Semua orang tidak lagi punya kesempatan, untuk sekadar berhenti memandang embun sebelum menitik ke tanah. Matahari yang bersinar tidak terlalu cerah. Awan berbentuk mutiara, semar atau gajah. Kelopak bunga mulai merekah. Kaki anjing pincang sebelah. Semut terinjak-injak hingga lebur dengan tanah. Padi menguning di sawah. Burung bercinta di atas rumah. Semua orang melangkah bagai tidak menjejak tanah.
Sejak saat itu, alarm Nayla tidak pernah berhenti berbunyi.
***
Nayla ingin menunda waktu. Nayla ingin mengulur siang hingga tidak kunjung tiba malam. Nayla ingin merampas bulan supaya matahari selalu bersinar. Nayla ingin menghantamkan palu ke arah jam hingga suara alarmnya bungkam. Nayla ingin menunda kematian. Tapi Nayla selalu terlambat. Nayla selalu berada di pihak yang lemah dan kalah akan rutinitas yang tak mau menyerah. Dan ia mulai merasa kewajibannya sebagai beban.
Ia mulai cemburu pada orang-orang yang masih dapat berjalan santai sambil berpegangan tangan. Atau orang-orang yang berjemur di tepi kolam renang sambil membaca koran. Ketika, ia tergesa-gesa menyiapkan air hangat, sarapan dan seragam. Berdesakan di antara hiruk pikuk suara dan keringat dalam pasar. Memastikan pendingin ruangan belum saatnya dibersihkan. Membayar iuran telepon dan listrik bulanan. Memberi makan ikan. Memberi peringatan berkali-kali pada pembantu yang tidak juga mengerjakan perintah yang sudah diinstruksikan. Mengikuti senam seks dan kebugaran. Menjadi pendengar yang baik bagi suami yang berkeluh-kesah tentang pekerjaan. Memutar otak untuk memenuhi kebutuhan sandang pangan dalam sebulan. Menyimpan kekecewaan ketika anak sudah tidak lagi mau mengikuti nasihat yang seharusnya diindahkan.
Dan masih saja ada yang kurang. Masih ada saja yang tidak sempurna. Sarang laba-laba di atas plafon. Terlalu banyak menggunakan jasa telepon. Buah dada yang mulai mengendur. Vagina yang tidak lagi lentur. Terlalu letih hingga tidur mendengkur. Seragam sekolah yang luntur. Kurang becus mengatur keuangan. Terlalu banyak pemborosan. Kurang peka. Kurang perhatian. Kurang waktu.... Waktu.... Waktu.... Waktu.... Waktu...?!
Bahkan Nayla merasa sudah tidak punya waktu untuk sekadar memanjakan perasaan. Tidak nongkrong bersama teman-teman. Tidak belanja perhiasan. Tidak pergi ke klab malam. Tidak dalam sehari membaca buku lebih dari dua puluh halaman. Tidak lagi nonton film layar lebar di studio Twenty One. Tidak lagi mengerjakan segala sesuatu yang baginya dulu merupakan kesenangan. Nayla mulai merasakan dadanya berdebar. Semangatnya bergetar.
Ia ingin menampar suaminya jika membela anaknya yang kurang ajar. Ia ingin ngebut tanpa mengenakan sabuk pengaman. Ia ingin bersendawa keras-keras di depan mertua dan ipar-ipar. Ia ingin berjemur di tepi pantai dengan tubuh telanjang. Ia ingin mengatakan ia senang bercinta dengan posisi dari belakang. Ia ingin mewarnai rambutnya bak Dennis Rodman. Ia ingin berhenti minum jamu susut perut dan sari rapet. Ia ingin memelihara anjing, kucing, babi, penguin, panda dan beruang masing-masing satu pasang. Ia ingin makan soto betawi sekaligus dua mangkok besar. Ia ingin berhenti hanya makan sayur dan buah-buahan waktu malam.
 ***
Apa yang sedang mengkhianati dirinya hingga ia merasa sama sekali tidak bersalah atas debaran di dadanya yang begitu memukau? Apa yang sedang memberi pengakuan sehingga ia merasa begitu lama membuang-buang waktu? Apakah hidup diberikan supaya manusia tidak punya pilihan selain berbuat baik? Dan mengapa pertanyaan ini baru datang ketika sang algojo waktu sudah mengulurkan tangan? Mungkin hidup adalah ibarat mobil berisikan satu tanki penuh bahan bakar. Ketika sang pengendara sadar bahan bakarnya sudah mulai habis, ia baru mengambil keputusan perlu tidaknya pendingin digunakan, untuk memperpanjang perjalanan, untuk sampai ke tujuan yang diinginkan.
Nayla memacu laju mobilnya semakin kencang. Memburu kesempatan untuk bersimpuh memohon pengampunan atas dosa-dosa yang Nayla sesali tidak sempat ia lakukan, sebelum jam tangannya berubah jadi sapu, mobil sedannya berubah jadi labu, dan dirinya berubah jadi abu.

Oleh: Feftiyatul Hasanah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar