
OLEH
: Djenar Maesa Ayu
Data hasil cerpen yang saya baca
:
v Jumlah
paragraf : 27 paragraf.
v Tokoh :
nayla
v Alur : campuran.
Nayla
melirik arloji di tangan . baru jam lima petang , nsmun langit begitu hitam .
matahari sudah lama tenggelam. Ia memijat nomor satu nol tiga. Terdengar suara
operator dari seberang “waktu menunjukkan pukul tujuh belas , nol menit ,dan
tiga puluh detik”.
Waktu
bukanlah sesuatu yang patutu di resahkan . karena waktu yang berjalan hanyalah
roda yang berputar tiga ribu enam ratus detik kali duia puluh empat jam.
Gerakan mekanis reunitis kehidupan . menggeling di atas jalan bebas hambatan .
sementara banyak yang sudah terlupakan. Suara
mesin memmbahana dalam kamar yang lenggang. Ruih rendah suara kayawan di
kafetaria gedung perkantoran . ngeceng di plaza senayan , mengeluh bersama
sahabat tentang cinta bertepuk sebelah tangan .menapir pipi laki-.laki kurang
ajar di diskotik . menghapus air mata yang menitik . melamun. Membaca
stensilan , makan nasi goreng kambing
ramai-ramai dalam mobil di pinggir jalan . masak indomie rebus kari rasa ayam .
menatap matahari terbenam nonton formula one piala dunia di sport bar.
v Pendekatan
: kontekstual
v Hal yang
menarik :
-
Ia menjadi muram seperti cahaya bulan yang
bersinar suram.
-
Ia tidak ingin kehilangan kesempatanuntuk
melakukan bnayak hal yang belum sempat ia kerjakan .
-
Waktu bagaikan pembunuh yang selalu
membuntuti dan mengintai dalam kegeglapan
-
Waktu adalah pelengkap.
-
Yang tertlupakan adalah waktu yang mengalir
dalam lautan debar , samudra getar , cakrawala , harapan.
-
Hatinya membatu.
-
Semua orang harus tepat waktu pada tujuan.
-
Nayla ingin menunda kematian.
-
Nay;la merasa sudah tidak mempunyai waktu
untuk sekedar memanjakan perasaan.
-
Hidup adalah ibarat mobil berisikan satu
tanki penuh bhan bakar.
-
jam tanganya berubah menjadi sapu , mobil
jadi labu dan dirinya menjadi abu.
WAKTU NAYLA
Karya : djenar maesa ayu
Dalam penulisan apresiasi
prosa fiksi dalam cerpen waktu nayla saya menggunakan pendekatan kontekstual
karena pendekata ini memandang prosa fiksi sebagai hasil cipptaan pengarang
berdasarkan bahan-bahan yang di angkat dan realitas (pengalaman hidup penulis
atau hasil penghayatan penulis terhadap kehiduapan ) .
hal tersebut menunjukkan bahwa
untuk dapat memahami prosa fiksi secara mendalam dalam kawasan kontekstual ini
diperlukan aktivitas diaolog secara instentif antara openghayatan dan pemahaman
terhadap apa yang di tulis oleh penulis
dengan pengetahiuan dan pengalaman hoidup seorang apresiator.
Saya
mengambil salah satu dari hal yang menarik dari cerpen tersebut untuk di
jatukan judul yaitu waktu adalah pelengkap , karena bagi kita semua waktu itu
adalah uang dimana kita jangan pernah menunnda waktu yang gtelah di sediakan
dan jangan sampai menunda sesuta pekerjaan untuk waktu yang tidak penting .
nayla melirik arlkoji di tangan kannaanya. Baru jam lima petng . namun langit
begitu hitam , matahari sudah lama tenggelam . ia menjadi muranm seperti
bcahaya bulan yang bersinar muram.
Ia harus
menemukan seseorang untuk memberikan informasi waktu yang tepat . tapi jika ia
nayla berhenti dan bertanya , berarti ia akan kehilangan waktu . sementara
masih begitu jauh jarak yang harus di lampaui untuk mencapai tujuan . nayla
sangayt tidak ingin kehilangan waktu. Sepeti juga ia tidak ingin kehilangan
kesempatan untuk melakukan banyak hal yang belum sempat ia kerjakan.
Kalau itu
waktu adalah pelengkap sebuah sarana . mempermudah kegiatannya sehari –hari menuntunya menjadi
roda kebahagiaan keluarga. Mengingatkan kapan
saatnya menabur bunga pada makam orang tua , nenek , kakek yang leluhur
. membeli hadiah natal , ualang tahun dan hari kasih sayang . mengirim pesan
sms kepada si pencari nafkah supaya tidak terlambat makan . tempat les.
Bercinta berdasarkan sistem kalender ckapan sperma baik untuk di masukkan kdan
kapan lebih baik di keluarkan di luar .
Melaju kencang
ke pusat getaran yang mendebarkan . tapi mimpi juga terbatas waktu debaran itu
mendadak buyar ketika terdengar suara ketukan pembantu di pintu kamar . suara
kokok ayam jantan ,kicau burung kamilau sinar matahari merobos jendela
Dan suara
alamr jam katika jarum panjangnya menunjuk angka dua belas dan jarum pendeknya
menujuj angka eanam , suara alamr itu adalah suara yang sama denagn suara
dokter yang mebyampaikan bahwa sudah terdeteksi sejenis kanker ganas pada
ovarium . suara alamr itu adalah suara yang sama dengan dokter yang memvonis
umur nayla hanya akan bertahan maksimal satu tahun kedepan.
Suara alarm
itu adalah suara yang sama suara yang menyadarkan nya kembali dari pengaruh
hipnotis bandul masa lalu, masi kini dan masa depan.
Semua orang
harus tepat waktu pada tujuan. Semua orang tidak lagi pumya kesempatan untuk
sekedar berhenti memandang embun sebelum menitik ke tanah , matahari yang
bersinar tidak terlalu cerah . awan berhenti mutiara semar dan gajah . kelopak
bunga mulai merekah kaki anjing pincang
sebelah . semut terinjak hingga lebur dengan tanah pada menguning di sawah .
burung bercinta di atas rumah . semua porang melangkah bagai tidak menjejeak
tanah .
Apa yang
sedang menghianati dirinya hingga ia merasa sama sekali tidak bersalah atas
debaran di dadanya yang begitu memancau .? apa yang sedang membari pengakuan ia
merasa begitu lama membuang =buang waktu ? apakah hidup di berikan supaya
manusia tidak punya pilihan selain berrbuat baik. Dan mengapa pertanyaan ini baru
datang ketikan sang algojo waktu sudah mengulurkan tangan ? mungkin hidup
ibarat mobil berisikan satu tanki penuh bahan bakar.
Nayla memacu
laju mobil semakin kencang , memburu kesempatan untuk bersimpuh memohon
pengampunan atas dosa-dosa yang nayla n sesali tidak sempat ia lakukan sebelum
jam tanganya berubah menjadi sapu , mobil jadi labu dan dirinya menjadi abu.
Waktu Nayla (by Djenar Maesa Ayu)
Nayla melirik arloji di tangan kanannya. Baru jam lima
petang. Namun, langit begitu hitam. Matahari sudah lama tenggelam. Ia menjadi
muram seperti cahaya bulan yang bersinar suram. Hatinya dirundung kecemasan.
Apakah jam tangannya mati? Lalu jam berapa sebenarnya sekarang? Nayla memeriksa
jam di mobilnya. Juga jam lima petang. Jam pada ponselnya pun menunjukkan jam
lima petang.
Ia memijit nomor satu nol tiga. Terdengar suara
operator dari seberang, "Waktu menunjukkan pukul tujuh belas, nol menit,
dan dua puluh tiga detik."
Lalu manakah yang lebih benar. Penunjuk waktu atau
gejala alam? Nayla menambah kecepatan laju mobilnya. Kemudi di tangannya terasa
licin dan lembab akibat telapak tangannya yang mulai basah berkeringat.
Ia harus menemukan seseorang untuk memberinya
informasi waktu yang tepat. Tapi jika Nayla berhenti dan bertanya, berarti ia
akan kehilangan waktu. Sementara masih begitu jauh jarak yang harus dilampaui
untuk mencapai tujuan. Nayla sangat tidak ingin kehilangan waktu. Seperti juga
ia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk melakukan banyak hal yang belum
sempat ia kerjakan.
Namun Nayla pada akhirnya menyerah. Ia menepi dekat segerombolan
anak-anak muda yang sedang nongkrong di depan warung rokok dan menanyakan jam
kepada mereka. Tapi seperti yang sudah Nayla ramalkan sebelumnya, jawaban dari
mereka adalah sama, jam lima petang. Hanya ada sedikit perbedaan pada menit.
Ada yang mengatakan jam lima lewat lima, jam lima lewat tiga, dan jam lima
lewat tujuh.
Nayla semakin menyesal telah membuang waktu
untuk sebuah pertanyaan konyol yang sudah ia yakini jawabannya, yaitu jam lima
petang. Berarti benar ia masih punya banyak waktu. Sebelum jam tangannya
berubah jadi sapu, mobil sedannya berubah jadi labu, dan dirinya berubah
menjadi abu.
***
Entah kapan persisnya Nayla mulai tidak bersahabat
dengan waktu. Waktu bagaikan seorang pembunuh yang selalu membuntuti dan
mengintai dalam kegelapan. Siap menghunuskan pisau ke dadanya yang berdebar.
Debaran yang sudah pernah ia lupakan rasanya. Debaran yang satu tahun lalu
menyapanya dan mengulurkan persahabatan abadi, hampir abadi, sampai ketika sang
pembunuh tiba-tiba muncul dengan sebilah belati.
Sebelumnya Nayla begitu akrab dengan waktu.
Ketika cincin melingkar agung di jari manisnya. Ketika tendangan halus
menghentak dinding perutnya. Menyusui. Memandikan bayi. Bercinta malam hari.
Menyiapkan sarapan pagi-pagi sekali. Rekreasi. Mengantar anak ke sekolah.
Membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Memarahi pembantu. Membuka album foto
yang berdebu. Mengiris wortel. Pergi ke dokter. Menelepon teman-teman. Berdoa
di dalam kegelapan. Doa syukur atas kehidupan yang nyaris sempurna. Kehidupan
yang selama ini ia idam-idamkan.
Kala itu, waktu adalah pelengkap, sebuah sarana.
Mempermudah kegiatannya sehari-hari. Menuntunnya menjadi roda kebahagiaan
keluarga. Mengingatkan kapan saatnya menabur bunga di makam orang tua, kakek,
nenek dan leluhur. Membeli hadiah Natal, ulang tahun dan hari kasih sayang.
Mengirim pesan sms kepada si Pencari Nafkah supaya tidak terlambat makan.
Memperkirakan lauk apa yang lebih mudah dimasak supaya tidak terlambat
menjemput anak di tempat les. Bercinta berdasarkan sistem kalender, kapan
sperma baik untuk dimasukkan dan kapan lebih baik dikeluarkan di luar.
Waktu bukanlah sesuatu yang patut diresahkan. Karena
waktu yang berjalan, hanyalah roda yang berputar tiga ribu enam ratus detik
kali dua puluh empat jam. Gerakan mekanis rutinitas kehidupan. Menggelinding di
atas jalan bebas hambatan. Sementara banyak yang sudah terlupakan. Suara mesin
tik membahana dalam kamar yang lengang. Riuh rendah suara karyawan di kafetaria
gedung perkantoran. Ngeceng di Plaza Senayan. Mengeluh bersama sahabat tentang
cinta yang bertepuk sebelah tangan. Menampar pipi laki-laki kurang ajar di
diskotik. Menghapus air mata yang menitik. Melamun. Membaca stensilan. Makan
nasi goreng kambing ramai-ramai dalam mobil di pinggir jalan. Masak Indomie
rebus rasa kari ayam. Menatap matahari terbenam. Nonton Formula One atau Piala
Dunia di Sports Bar.
Menatap mata kekasih dengan berbinar-binar.
Bersentuhan tangan ketika memasangkan celemek di paha kekasih dengan tangan
bergetar. Menanti dering telepon dengan hati berdebar. Memilih kartu ucapan
rindu yang tidak terlalu norak tanpa lebih dulu menunggu hari besar datang
dengan dada berdebar. Memilih baju terbaik setiap ada janji dengan pacar dengan
jantung berdebar. Menanti pujian dengan rasa berdebar. Bercinta dengan rasa,
jantung, dada, hati, tangan, kaki, payudara, vagina, leher, punggung, ketiak,
mata, hidung, mulut, pipi, raga, berdebar.
Yang terlupakan adalah waktu yang mengalir dalam
lautan debar, samudera getar, cakrawala harapan.
***
Mungkin Nayla tidak bermaksud dengan sengaja
melupakan, ia hanya tidak sadar. Ia hanya pingsan keletihan dan belum jua
siuman. Ia hanya terhipnotis bandul jam yang bergerak kiri kanan dan berdetak
dalam keteraturan. Membuat raganya beku. Lidahnya kelu. Hatinya membatu.
Imajinasinya buntu. Kadang dalam tidur imajinasinya memberontak terbang.
Mengepakkan sayap bersama dengan burung-burung dan kupu-kupu. Mengendarai ikan
paus di samudera lepas. Bungy jumping. Arung jeram. Baca komik
Petualangan Tintin. Minum teh di atas awan sambil diskusi tentang cerpen Anton
Chekov dengan almarhum ayah dan bertanya mana yang lebih mahal antara berlian
dengan Fancy Diamond kepada almarhumah ibu. Menjadi Arnold Schwarzeneger dan
menggagalkan aksi teroris yang hendak menabrakkan pesawat ke gedung World Trade
Center. Menelan biji durian. Makan rambutan. Nonton Cirque du Soleil.
Nonton N'SYNC dan dipanggil ke atas panggung untuk
diberi kecupan oleh Justin Timberlake. Bertinju dengan Moehammad Ali.
Mengalahkan Michael Jordan. Merebut suami Victoria Beckham. Mengedit karya
Gabrielle Garcia Marques. Minum sirup markisa. Baca puisi bareng Presiden
Penyair Sutardji Calzoum Bachri. Diculik UFO. Punya toko buku kecil di Taman
Ismail Marzuki.
Melaju kencang ke pusat getaran yang
mendebarkan. Tapi mimpi juga terbatas waktu. Debaran itu mendadak buyar ketika
terdengar suara ketukan pembantu di pintu luar kamar. Suara kokok ayam jantan.
Kicau burung. Kemilau sinar matahari menerobos jendela. Dan suara alarm jam
ketika jarum panjangnya menunjuk angka dua belas dan jarum pendeknya menunjuk
angka enam. Suara alarm itu, adalah suara yang sama dengan suara dokter yang
menyampaikan bahwa sudah terdeteksi sejenis kanker ganas pada ovariumnya. Suara
alarm itu, adalah suara yang sama dengan suara dokter yang memvonis umur Nayla
hanya akan bertahan maksimal satu tahun ke depan. Suara alarm itu, adalah suara
yang sama dengan suara dokter yang mengatakan bahwa sudah tidak ada harapan
untuk sembuh. Suara alarm itu, adalah suara yang menyadarkannya kembali dari
pengaruh hipnotis bandul waktu masa lalu, masa kini dan masa depan.
***
Manusia sudah menerima hukuman mati tanpa pernah tahu
kapan hukuman ini akan dilaksanakan. Karena itu Nayla tidak tahu mana yang lebih
layak, merasa terancam atau bersyukur. Di satu sisi ia sudah tidak perlu lagi
bertanya-tanya kapan eksekusi akan dilaksanakan.
Tapi apakah setahun yang dokter maksudkan adalah 12
bulan, 52 minggu dan 365 hari dari sekarang? Bagaimana kalau satu tahun dimulai
dari ketika kanker itu baru tumbuh. Atau satu minggu sebelum Nayla datang ke
dokter. Atau mungkin benar-benar pada detik ketika dokter itu mengatakan satu
tahun. Lalu berapa lamakah waktu sudah terbuang? Dari manakah Nayla harus mulai
berhitung?
Mata Nayla berkunang-kunang. Perutnya mulai terasa
sakit seiring dengan bunyi dari segala bunyi jam, berdetak keras memekakkan
telinganya. Satu, sepuluh, seratus, seribu, sepuluh ribu, seratus ribu, sejuta
detik mengejar dan mengepung pendengarannya ke mana pun Nayla melangkah.
Memaksa mata Nayla menyaksikan lalu lalang kaki-kaki bergegas, suara klakson
dari pengendara yang tak sabaran, lonceng tanda masuk sekolah, jutaan tangan
karyawan memasukkan kartu ke dalam mesin absen, aksi dorong mendorong masuk ke
dalam bus, tubuh-tubuh meringkuk di atas atap kereta api, semua orang tidak mau
ketinggalan.
Semua orang harus tepat waktu sampai di tujuan. Semua
orang tidak lagi punya kesempatan, untuk sekadar berhenti memandang embun
sebelum menitik ke tanah. Matahari yang bersinar tidak terlalu cerah. Awan
berbentuk mutiara, semar atau gajah. Kelopak bunga mulai merekah. Kaki anjing
pincang sebelah. Semut terinjak-injak hingga lebur dengan tanah. Padi menguning
di sawah. Burung bercinta di atas rumah. Semua orang melangkah bagai tidak
menjejak tanah.
Sejak saat itu, alarm Nayla tidak pernah berhenti
berbunyi.
***
Nayla ingin menunda waktu. Nayla ingin mengulur siang
hingga tidak kunjung tiba malam. Nayla ingin merampas bulan supaya matahari
selalu bersinar. Nayla ingin menghantamkan palu ke arah jam hingga suara
alarmnya bungkam. Nayla ingin menunda kematian. Tapi Nayla selalu terlambat.
Nayla selalu berada di pihak yang lemah dan kalah akan rutinitas yang tak mau
menyerah. Dan ia mulai merasa kewajibannya sebagai beban.
Ia mulai cemburu pada orang-orang yang masih dapat
berjalan santai sambil berpegangan tangan. Atau orang-orang yang berjemur di
tepi kolam renang sambil membaca koran. Ketika, ia tergesa-gesa menyiapkan air
hangat, sarapan dan seragam. Berdesakan di antara hiruk pikuk suara dan
keringat dalam pasar. Memastikan pendingin ruangan belum saatnya dibersihkan.
Membayar iuran telepon dan listrik bulanan. Memberi makan ikan. Memberi
peringatan berkali-kali pada pembantu yang tidak juga mengerjakan perintah yang
sudah diinstruksikan. Mengikuti senam seks dan kebugaran. Menjadi pendengar
yang baik bagi suami yang berkeluh-kesah tentang pekerjaan. Memutar otak untuk
memenuhi kebutuhan sandang pangan dalam sebulan. Menyimpan kekecewaan ketika
anak sudah tidak lagi mau mengikuti nasihat yang seharusnya diindahkan.
Dan masih saja ada yang kurang. Masih ada saja yang
tidak sempurna. Sarang laba-laba di atas plafon. Terlalu banyak menggunakan
jasa telepon. Buah dada yang mulai mengendur. Vagina yang tidak lagi lentur.
Terlalu letih hingga tidur mendengkur. Seragam sekolah yang luntur. Kurang
becus mengatur keuangan. Terlalu banyak pemborosan. Kurang peka. Kurang
perhatian. Kurang waktu.... Waktu.... Waktu.... Waktu.... Waktu...?!
Bahkan Nayla merasa sudah tidak punya waktu untuk
sekadar memanjakan perasaan. Tidak nongkrong bersama teman-teman. Tidak belanja
perhiasan. Tidak pergi ke klab malam. Tidak dalam sehari membaca buku lebih
dari dua puluh halaman. Tidak lagi nonton film layar lebar di studio Twenty
One. Tidak lagi mengerjakan segala sesuatu yang baginya dulu merupakan
kesenangan. Nayla mulai merasakan dadanya berdebar. Semangatnya bergetar.
Ia ingin menampar suaminya jika membela anaknya yang
kurang ajar. Ia ingin ngebut tanpa mengenakan sabuk pengaman. Ia ingin bersendawa
keras-keras di depan mertua dan ipar-ipar. Ia ingin berjemur di tepi pantai
dengan tubuh telanjang. Ia ingin mengatakan ia senang bercinta dengan posisi
dari belakang. Ia ingin mewarnai rambutnya bak Dennis Rodman. Ia ingin berhenti
minum jamu susut perut dan sari rapet. Ia ingin memelihara anjing, kucing,
babi, penguin, panda dan beruang masing-masing satu pasang. Ia ingin makan soto
betawi sekaligus dua mangkok besar. Ia ingin berhenti hanya makan sayur dan
buah-buahan waktu malam.
***
Apa yang sedang mengkhianati dirinya hingga ia merasa
sama sekali tidak bersalah atas debaran di dadanya yang begitu memukau? Apa
yang sedang memberi pengakuan sehingga ia merasa begitu lama membuang-buang
waktu? Apakah hidup diberikan supaya manusia tidak punya pilihan selain berbuat
baik? Dan mengapa pertanyaan ini baru datang ketika sang algojo waktu sudah
mengulurkan tangan? Mungkin hidup adalah ibarat mobil berisikan satu tanki
penuh bahan bakar. Ketika sang pengendara sadar bahan bakarnya sudah mulai habis,
ia baru mengambil keputusan perlu tidaknya pendingin digunakan, untuk
memperpanjang perjalanan, untuk sampai ke tujuan yang diinginkan.
Nayla memacu laju mobilnya semakin kencang. Memburu
kesempatan untuk bersimpuh memohon pengampunan atas dosa-dosa yang Nayla sesali
tidak sempat ia lakukan, sebelum jam tangannya berubah jadi sapu, mobil
sedannya berubah jadi labu, dan dirinya berubah jadi abu.
Oleh: Feftiyatul Hasanah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar