
Setiap
senja aku menangis, meratapi apa yang salah dala diriku. Mendung itu seakan tahu tentang hati
yang penuh sendu. Awan hitam semu jingga merebah
kepiluan. Kesempurnaan memang bukan milikku. Namun, tak bolehkah aku berusaha
mendekati sebuah kesempurnaan itu? Jika bukan dari luar, mungkin bisa dari
dalam. Setidaknya aku dapat menjadi seseorang yang lebih baik.
Bagai
debur ombak yang meliuk-liuk, laksana telur yang bergetar mengarah ke ujung
meja. Hatiku berkelap-kelip redup dan sesuatu telah menyusup pikiranku. Aku
bahagia, tapi hatiku lara.
Mencoba
menghapus kenangan, nyatanya bayangan masa lalu kerap kali bertamu dalam
ingatan, sedang kalbuku menjamunya dengan sebuah penolakan. Teringat masa
itu...
Saat
beliaku yang tak harus mengerti arti kekecewaan, aku yang selalu berpetualang
dalam kebahagiaan hidup. Bersorak-sorai menikmati keseruan saat bermain bersama
teman-teman. Walau hidup di tempat biasa dan amat sederhana, tetapi bagiku
semua terasa istimewa. Bapak dan Ibu selalu menemani masa-masaku. Juga
teman-teman belia yang selalu mengajakku bersuka cita bersama. Sempurnanya
diriku kala itu. Karena sempurnaku adalah bahagiaku.
Menggantungkan
hidup dengan menerima gaji tak seberapa sebagai karyawan swasta Bapak mampu
memberi swegala kebutuhanku. Sedangkan Ibu mencoba membantu Bapak untuk
memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga kecil kami ini dengan membuka sebuah warung.
Toko mungil itu terletak di pinggir depan kantor Bapak bekerja yang sekaligus
sebagai tempat tinggal kami. Yaah..kami menumpang di kantor tersebut. Kepala
bagian kantor telah mempercayakan Bapak untuk menjaga keamanan dan kebersihan
kantor itu selama tidak ada jam kantor. Di belakang kantor ini terletak sebuah
ruangan cukup luas, itulah tempat tinggal kami.
Menurutku
tak perlu khawatir akan masa depanku kala itu. Bapak masih mampu membiayai
pendidikan saat aku mulai menginjak Taman Kanak-Kanak. Di sekolah ini aku belajar memahami arti
kebersamaan dengan teman-teman baru yang kemudian menjadi teman akrab yang
selalu bermain bersama. Hanya saja terkadang mereka menjauhiku karena aku tidak
menuruti apa yang mereka mau. Masa kanak-kanaj memang masa-masa jiwa yang belum
sepenuhnya terpahami. Hingga beberapa hari mereka tak mau bicara padaku,
setidaknya hanya tegur sapa saja pun tak ku dapati. Beberapa hari kemudian,
entah karena apa mereka mau mengajakku bermain bersama lagi.
Bulan
mulai menampakkan wajah baru, hari mulai melangkah pergi. Sudah tiba waktunya
aku mengenyam pendidikan. Bukan lagi di Taman Kanak-Kanak, melainkan mulai
duduk di bangku Sekolah Dasar. Bapakku masih cukup mampu membiayai
pendidikanku. Aku patutnya bersyukur bisa merasakan duduk di bangku sekolah
sama seperti teman-teman yang lain, tidak seperti kawan-kawan yang belum mampu mendapat
kesempatan untuk bersekolah. Aku pun belum mengerti antara kemewahan dan
kemiskinan, yang ku tahu aku bahagia hidup bersama Bapak dan Ibu. Bapak selalu
memberi apa yang ku butuhkan, Ibu mampu mengabulkan apa yang ku minta.
Selayang
pandang, Tuhan memberi sebuah titipan di rahim ibuku. Entah sejak kapan aku tak
tahu. Aku tidak dapat menerka mengapa akhir-akhir ini Ibu gemar minum susu. Setelah
membuatkan segelas susu, kemudian Ibu juga meneguk segelas susu lainnya.
Melihatnya sering kali mengelus-elus perutnya yang sedikit buncit membuatku
semakin berhati-hati dengan perut itu. Aku mulai paham akan ada sosok yang akan
jadi saudara kecilku dalam perutnya.
Suatu
malam Ibu dan Bapak pamit untuk sekedar kontrol ke dokter kandungan dan kala
itu aku dititipkan di rumah sahabat Ibu. Aku menunggu hingga larut malam,
sampai aku tak kuasa menahan kantuk yang begitu hebat dan akhirnya aku pun
terlelap di kamar kecil itu.Hingga datang sang fajar menerangi bumi, menghangatkan
suasana pagi. Aku terbangun dari tidur lelapku semalam kemudian mulai sadar
bahwa Ibu tidak datang menjemputku semalam. Selang beberapa menit kemudian ku
dengar dari sebuah percakapan sahabat Ibu dengan telepon genggam yang
mengabarkan bahwa telah terjadi sesuatu pada Ibuku. Beliau menyuruhku untuk
tetap masuk sekolah karena pada waktu itu aku harus mengikuti Ujian Akhir
Semester. Sahabat Ibu lah yang mengatur semua kebutuhanku selama Bapak dan Ibu
tidak ada di smapingku. Maklumlah, di kota yang padat ini aku tak punya
siapa-siapa lagi kecuali mereka.
Sepulang
sekolah aku dan sahabat Ibu bergegas menuju rumah sakit. Mataku mulai
berklaca-kaca melihat sesosok yang amat aku sayangi terbaring sendu di sebuah
ruang ICU. Namun, aku selalu memberi senyuman hangat padanya, karena aku tak
ingin melihat beliau larut dalam kesedihannya. Cerita memeang dapat direka,
namun takdir Tuhan lebih kuasa. Kebahagiaan kami sedikit tertunda lantaran
makhluk mungil di rahim Ibu tak lagi menemani kami kini, esok, dan selamanya.
Mungkin kehendak Tuhan mengatakan bahwa hanya aku satu-satunya titisan-Nya
untuk menemani Bapak dan Ibu.
***
Kehidupan
berumah tangga tak selamanya semulus kain sutra. Keluarga kecil ini rupanya
tengah tersandung kerikil kecil yang membuat mereka harus angkat kaki dari
kepadatan kota ini. Sepertinya kota ini sudah tidak pantas lagi mereka
tinggali. Kota kelahiran Bapak menjadi daerah yang akan menjadi tempat tinggal
baru keluarga tersebut. Keputusan ini tidak sepenuhnya disetujui.
***
“Aku
gak mau pindah dari kota ini, di sini tempat tinggalku!”
“Ibu
ngerti sayang, tapi ini sudah keputusan Bapakmu, kita harus nurut.” (menangis)
Dengan
segala rasa, aku berjalan semakin jauh meninggalkan kota ini. Kota penuh
kenangan. Sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa harus begini keadaannya? Sayang,
aku masih belia tak mampu memahami masalah orang dewasa. Bapak dan Ibu seakan tak mau tahu tentang perasaan
putri kecilnya itu.
Perjalanan
semakin jauh, semakin mendekat ke arah pulau kecil di sebelah timur. Ku
seberangi laut cukup luas, kulewati kota dan desa. Tempat itu semakin dekat dan
sampailah kama di kota Sampang. Sebuah kota kecil dari empat kabupaten yang ada
di Pulau Madura. Mengaku sepintas aku memandang sebelah mata sebuah daerah yang
terletak di sebelah timur Pulau Jawa ini. Ternyata tak sepenuhnya pandanganku
benar. Ada banyak kelebihan di balik cemoohan di pulau garam ini.
Aku
mulai melanjutkan sekolah di kota baruku. Sebuah sekolah dasar cukup favorit
menjadi pilihan Bapak untuk menyekolahkanku di sana. Prestasiku sempat menurun,
karena aku belum mampu menerima semua ini apalagi kemampuan adaptasi yang cukup
susah di lingkungan tersebut. Bahasa dan kebiasaan baru perlu ku pahami. Lambat
laun melai ada perubahan, sedikit demi sedikit bahasa daerah itu dapat ku pelajari.
Aku lulus SD dengan nilai yang cukup memuaskan dari salah dasar yang cukup
berkompeten di kota Sampang. Tak hanya itu, dengan rasa bangga aku bisa masuk
Sekolah Menengah Pertama terfavorit di kota itu tanpa harus melalui tes dan
lolos lima belas besar duduk di bangku kelas unggulan. Kebanggaan ini tercipta
karena bukan sedikit yang mengikuti kompetisi ini, melainkan muda-mudi
se-Kabupaten Sampang berlomba-lomba untuk mendapatkan kursi ini, dan dengan
rasa syukur aku mendapatkannya. Madura
tidak selamanya bodoh, kami mampu berprestasi.
Sekolah
Menengah Pertama lagi-lagi harus beradaptasi dengan teman dan lingkungan baru,
memang untuk teman kebanyakan sama-sama berasal dari Sekolah Dasar yang sama,
namun masih perlu penyesuaian dengan teman-teman yang lain.
Ku
mulai melangkah lebih jauh berusaha menyatu dengan keadaan daerah ini. Diri ini
perlahan memahami kehidupan. Rupanya ada banyak cerita di dalamnya. Mungkin
memang berbeda tak seperti mereka. Atau aku hanya sebuah boneka? Aku ada tapi
hilang. Di tengah tapi aku di ujung.
Ku
sadari, tak secantik Juliet, tak seseksi Julia Perez, tak sepandai Albert
Einstein, tak seheboh Syahrini dan tak setegas Pak Jokowi. Aku ada dan tak
seburuk cerita. Mengapa aku selalu dicerca?
***
Aku
mulai menjalin persahabatandengan seorang teman yang kukenal sejak kelas IX.
Perlahan persahabatan terjalin mesra dengan ‘sebut saja Bunga’.
***
Keadaan
ternyata berbeda, diri merasa hina. Cemburu mulai hadir di tengah-tengah luka.
Bunga
dan aku berjalan bersama.
“Bunga...”
(suara satu)
“Hai,
Bunga?” (suara dua)
“Eh,
Bunga tambah cantik aja!” (suara tiga)
Aku
menunggu seseorang memanggil namaku. Nyatanya tak satu pun menoleh ke arahku.
Seburuk itukah aku?
Hari
itu aku hendak bergabung dengan teman-teman di kantin.
“Hei..Boleh
gabung?”
“Ya,
sendiri aja. Bunga mana?”
“Udah
balik ke kelas.”
“Eh,
dia tambah cantik ya. Pasti banyak cowok yang naksir.”
“Ya
begitulah.”
“
Dia baik ya, sedikit geje tapi dia lucu banget lho!”
“Oohh..ya.”
“Yaudah
aku mau ke kelas dulu ya! Daa..”
(sendiri
lagi)..
Ketika
aku kembali ke kelas, aku lihat semua teman asik bergurau bersama Bunga. Yaah..
cukup tahu diri saja. Aku berlalu, duduk di bangku pojok. Namun, rupanya dia
memanggilku dan mengajakku bergabung bersamanya. Aku tersenyum rupanya tak
seburuk yang ku kira. Aku masih ada di tempat mereka. Aku mendekat. Wah, aku
seperti semut di tengah keramaian manusia. Mereka sibuk bercanda sendiri, aku
ingin sama-sama tertawa tapi leluconku sepertinya tak seheboh dia. Lagi-lagi
apa yang aku katakan dianggap remeh dan tak ada yang mendengarkan. Apa tak ada
yang mau menghargaiku walau sedetik? Aku tidak gila hormat, tapi aku hanya
minta seteguk perhatian. Pilihan untuk diam itu lebih tepat. Mencoba bertahan.
***
Seperti
biasa, kegemaran memanjat atap rumah tetangga
kembali ku lakukan di kala senja. Saat ranum-ranum jingga menyerbak di ufuk senja. Angin
berhembus semilir menusuk dinding pori-pori kulit. Menembus aliran darah yang
seperti genderang mau perang. Menyepi itu surga bagiku.
Senja
yang semakin sunyi langit mulai memerah matahari mulai berpamitan. Terdiam aku
sendiri saat rembulan mulai menyapa.
“Apa
artinya hidup ini? Apa yang salah pada diri ini? Sehingga semua enggan
mnghampiri untuk mnegerti. Dianggap hanya saat mereka ingin berpoligami.”
Kembali
teringat masa-masa saat SMA. Layaknya kekasih yang merasa diduakan. Betapa hati
sangat gundah gulna. Begitu juga diriku yang terlanjur diduakan oleh jiwa-jiwa
bahagia. Aku ada jika dibutuhkan, disayang jika diperlukan, dilupakan saat
semua bahagia. Senyumku untuk mereka rinduku padanya, namun hati terluka.
Mendung tak berarti hujan. Tapi saat ini mendung di hati meniti hujan di pipi.
Doaku tiada henti. Semua orang tak mau mengakui.
Sebentar
lagi aku harus melanjutkan pendidikan di kota kenangan itu. Mungkin di kota aku
kembali mendapat kebahagiaanseperti dulu.
Lagi-lagi
cerita meleset dari sebuah rancangan skenario. Daerah yang sampai saat ini
menjadi domisiliku, ternyata masih saja dipandang sebelah mata oleh khalayak.
Madura juga Indonesia. Lantas apa yang salah?
“Tuhan,
cukup aku menunduk malu atas hinanya diri ini. Mengapa hinaan lain mulai
menghampiri?”
“Hai,
saudaraku tidakkah kau mengerti, semua tak selamanya seburuk ceritra.”
Mereka
dengan bangga tersenyum dari sebuah anggapan remeh terhadap daerahku. Bukan
tidak mungkin, jika kelak Madura mampu tersohor oleh kesuksesan bibit-bibit
unggulnya.
***
Dari
ketinggian ini aku berjanji. Kupejamkan mata, merentangkan tangan dan mengepalkan
jari-jemari.
“Aku
bukanlah yang sempurna. Tapi mendekati kesempurnaan adalah inginku. Madura
bukanlah dunia beda yang biasa dihina dan dipandang sebelah mata. Madura juga
bagian Indonesia. Dari kota ini akan ku buktikan, Madura juga punya realita
yang tak terduga. Aku ingin membawa rakyat Madura menjadi rakyat yang pandai
dan penuh cinta. Kami tidk bodoh. Kami mampu bersaing dengan dunia bebas.
Jangan hina, jangan remehkan.”
Dengan
janji ini kukepakkan sayap-sayapku dan ku akan terbang ke mana saja ku mau.
Ketika sayap ini patah, maka aku akan jatuh ke bawah. Separuh hidupku
terselubung oleh mendung. Akankah mendung itu selamnya akan menyelimuti hatiku?
Ah..tidak..aku tentu tak mau. Janji telah mengikat kalbu. Lantas ku tiup
mendung-mendung itu. Kuambil rembulan dan ku eratkan di dalam kalbu ini.
Oleh: Huswatul Hasanah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar