..

love

Kamis, 30 Mei 2013

Mendung Dikala Senja


Setiap senja aku menangis, meratapi apa yang salah dala diriku. Mendung itu seakan tahu tentang hati yang penuh sendu. Awan hitam semu jingga merebah kepiluan. Kesempurnaan memang bukan milikku. Namun, tak bolehkah aku berusaha mendekati sebuah kesempurnaan itu? Jika bukan dari luar, mungkin bisa dari dalam. Setidaknya aku dapat menjadi seseorang yang lebih baik.
Bagai debur ombak yang meliuk-liuk, laksana telur yang bergetar mengarah ke ujung meja. Hatiku berkelap-kelip redup dan sesuatu telah menyusup pikiranku. Aku bahagia, tapi hatiku lara.
Mencoba menghapus kenangan, nyatanya bayangan masa lalu kerap kali bertamu dalam ingatan, sedang kalbuku menjamunya dengan sebuah penolakan. Teringat masa itu...
Saat beliaku yang tak harus mengerti arti kekecewaan, aku yang selalu berpetualang dalam kebahagiaan hidup. Bersorak-sorai menikmati keseruan saat bermain bersama teman-teman. Walau hidup di tempat biasa dan amat sederhana, tetapi bagiku semua terasa istimewa. Bapak dan Ibu selalu menemani masa-masaku. Juga teman-teman belia yang selalu mengajakku bersuka cita bersama. Sempurnanya diriku kala itu. Karena sempurnaku adalah bahagiaku.
Menggantungkan hidup dengan menerima gaji tak seberapa sebagai karyawan swasta Bapak mampu memberi swegala kebutuhanku. Sedangkan Ibu mencoba membantu Bapak untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga kecil kami ini dengan membuka sebuah warung. Toko mungil itu terletak di pinggir depan kantor Bapak bekerja yang sekaligus sebagai tempat tinggal kami. Yaah..kami menumpang di kantor tersebut. Kepala bagian kantor telah mempercayakan Bapak untuk menjaga keamanan dan kebersihan kantor itu selama tidak ada jam kantor. Di belakang kantor ini terletak sebuah ruangan cukup luas, itulah tempat tinggal kami.
Menurutku tak perlu khawatir akan masa depanku kala itu. Bapak masih mampu membiayai pendidikan saat aku mulai menginjak Taman Kanak-Kanak.  Di sekolah ini aku belajar memahami arti kebersamaan dengan teman-teman baru yang kemudian menjadi teman akrab yang selalu bermain bersama. Hanya saja terkadang mereka menjauhiku karena aku tidak menuruti apa yang mereka mau. Masa kanak-kanaj memang masa-masa jiwa yang belum sepenuhnya terpahami. Hingga beberapa hari mereka tak mau bicara padaku, setidaknya hanya tegur sapa saja pun tak ku dapati. Beberapa hari kemudian, entah karena apa mereka mau mengajakku bermain bersama lagi.
Bulan mulai menampakkan wajah baru, hari mulai melangkah pergi. Sudah tiba waktunya aku mengenyam pendidikan. Bukan lagi di Taman Kanak-Kanak, melainkan mulai duduk di bangku Sekolah Dasar. Bapakku masih cukup mampu membiayai pendidikanku. Aku patutnya bersyukur bisa merasakan duduk di bangku sekolah sama seperti teman-teman yang lain, tidak seperti kawan-kawan yang belum mampu mendapat kesempatan untuk bersekolah. Aku pun belum mengerti antara kemewahan dan kemiskinan, yang ku tahu aku bahagia hidup bersama Bapak dan Ibu. Bapak selalu memberi apa yang ku butuhkan, Ibu mampu mengabulkan apa yang ku minta.
Selayang pandang, Tuhan memberi sebuah titipan di rahim ibuku. Entah sejak kapan aku tak tahu. Aku tidak dapat menerka mengapa akhir-akhir ini Ibu gemar minum susu. Setelah membuatkan segelas susu, kemudian Ibu juga meneguk segelas susu lainnya. Melihatnya sering kali mengelus-elus perutnya yang sedikit buncit membuatku semakin berhati-hati dengan perut itu. Aku mulai paham akan ada sosok yang akan jadi saudara kecilku dalam perutnya.
Suatu malam Ibu dan Bapak pamit untuk sekedar kontrol ke dokter kandungan dan kala itu aku dititipkan di rumah sahabat Ibu. Aku menunggu hingga larut malam, sampai aku tak kuasa menahan kantuk yang begitu hebat dan akhirnya aku pun terlelap di kamar kecil itu.Hingga datang sang fajar menerangi bumi, menghangatkan suasana pagi. Aku terbangun dari tidur lelapku semalam kemudian mulai sadar bahwa Ibu tidak datang menjemputku semalam. Selang beberapa menit kemudian ku dengar dari sebuah percakapan sahabat Ibu dengan telepon genggam yang mengabarkan bahwa telah terjadi sesuatu pada Ibuku. Beliau menyuruhku untuk tetap masuk sekolah karena pada waktu itu aku harus mengikuti Ujian Akhir Semester. Sahabat Ibu lah yang mengatur semua kebutuhanku selama Bapak dan Ibu tidak ada di smapingku. Maklumlah, di kota yang padat ini aku tak punya siapa-siapa lagi kecuali mereka.
Sepulang sekolah aku dan sahabat Ibu bergegas menuju rumah sakit. Mataku mulai berklaca-kaca melihat sesosok yang amat aku sayangi terbaring sendu di sebuah ruang ICU. Namun, aku selalu memberi senyuman hangat padanya, karena aku tak ingin melihat beliau larut dalam kesedihannya. Cerita memeang dapat direka, namun takdir Tuhan lebih kuasa. Kebahagiaan kami sedikit tertunda lantaran makhluk mungil di rahim Ibu tak lagi menemani kami kini, esok, dan selamanya. Mungkin kehendak Tuhan mengatakan bahwa hanya aku satu-satunya titisan-Nya untuk menemani Bapak dan Ibu.
***
Kehidupan berumah tangga tak selamanya semulus kain sutra. Keluarga kecil ini rupanya tengah tersandung kerikil kecil yang membuat mereka harus angkat kaki dari kepadatan kota ini. Sepertinya kota ini sudah tidak pantas lagi mereka tinggali. Kota kelahiran Bapak menjadi daerah yang akan menjadi tempat tinggal baru keluarga tersebut. Keputusan ini tidak sepenuhnya disetujui.
***
“Aku gak mau pindah dari kota ini, di sini tempat tinggalku!”
“Ibu ngerti sayang, tapi ini sudah keputusan Bapakmu, kita harus nurut.” (menangis)
Dengan segala rasa, aku berjalan semakin jauh meninggalkan kota ini. Kota penuh kenangan. Sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa harus begini keadaannya? Sayang, aku masih belia tak mampu memahami masalah orang dewasa. Bapak dan Ibu seakan tak mau tahu tentang perasaan putri kecilnya itu.
Perjalanan semakin jauh, semakin mendekat ke arah pulau kecil di sebelah timur. Ku seberangi laut cukup luas, kulewati kota dan desa. Tempat itu semakin dekat dan sampailah kama di kota Sampang. Sebuah kota kecil dari empat kabupaten yang ada di Pulau Madura. Mengaku sepintas aku memandang sebelah mata sebuah daerah yang terletak di sebelah timur Pulau Jawa ini. Ternyata tak sepenuhnya pandanganku benar. Ada banyak kelebihan di balik cemoohan di pulau garam ini.
Aku mulai melanjutkan sekolah di kota baruku. Sebuah sekolah dasar cukup favorit menjadi pilihan Bapak untuk menyekolahkanku di sana. Prestasiku sempat menurun, karena aku belum mampu menerima semua ini apalagi kemampuan adaptasi yang cukup susah di lingkungan tersebut. Bahasa dan kebiasaan baru perlu ku pahami. Lambat laun melai ada perubahan, sedikit demi sedikit bahasa daerah itu dapat ku pelajari. Aku lulus SD dengan nilai yang cukup memuaskan dari salah dasar yang cukup berkompeten di kota Sampang. Tak hanya itu, dengan rasa bangga aku bisa masuk Sekolah Menengah Pertama terfavorit di kota itu tanpa harus melalui tes dan lolos lima belas besar duduk di bangku kelas unggulan. Kebanggaan ini tercipta karena bukan sedikit yang mengikuti kompetisi ini, melainkan muda-mudi se-Kabupaten Sampang berlomba-lomba untuk mendapatkan kursi ini, dan dengan rasa syukur aku mendapatkannya.  Madura tidak selamanya bodoh, kami mampu berprestasi.
Sekolah Menengah Pertama lagi-lagi harus beradaptasi dengan teman dan lingkungan baru, memang untuk teman kebanyakan sama-sama berasal dari Sekolah Dasar yang sama, namun masih perlu penyesuaian dengan teman-teman yang lain.
Ku mulai melangkah lebih jauh berusaha menyatu dengan keadaan daerah ini. Diri ini perlahan memahami kehidupan. Rupanya ada banyak cerita di dalamnya. Mungkin memang berbeda tak seperti mereka. Atau aku hanya sebuah boneka? Aku ada tapi hilang. Di tengah tapi aku di ujung.
Ku sadari, tak secantik Juliet, tak seseksi Julia Perez, tak sepandai Albert Einstein, tak seheboh Syahrini dan tak setegas Pak Jokowi. Aku ada dan tak seburuk cerita. Mengapa aku selalu dicerca?
***
Aku mulai menjalin persahabatandengan seorang teman yang kukenal sejak kelas IX. Perlahan persahabatan terjalin mesra dengan ‘sebut saja Bunga’.
***
Keadaan ternyata berbeda, diri merasa hina. Cemburu mulai hadir di tengah-tengah luka.
Bunga dan aku berjalan bersama.
“Bunga...” (suara satu)
“Hai, Bunga?” (suara dua)
“Eh, Bunga tambah cantik aja!” (suara tiga)
Aku menunggu seseorang memanggil namaku. Nyatanya tak satu pun menoleh ke arahku. Seburuk itukah aku?
Hari itu aku hendak bergabung dengan teman-teman di kantin.
“Hei..Boleh gabung?”
“Ya, sendiri aja. Bunga mana?”
“Udah balik ke kelas.”
“Eh, dia tambah cantik ya. Pasti banyak cowok yang naksir.”
“Ya begitulah.”
“ Dia baik ya, sedikit geje tapi dia lucu banget lho!”
“Oohh..ya.”
“Yaudah aku mau ke kelas dulu ya! Daa..”
(sendiri lagi)..
Ketika aku kembali ke kelas, aku lihat semua teman asik bergurau bersama Bunga. Yaah.. cukup tahu diri saja. Aku berlalu, duduk di bangku pojok. Namun, rupanya dia memanggilku dan mengajakku bergabung bersamanya. Aku tersenyum rupanya tak seburuk yang ku kira. Aku masih ada di tempat mereka. Aku mendekat. Wah, aku seperti semut di tengah keramaian manusia. Mereka sibuk bercanda sendiri, aku ingin sama-sama tertawa tapi leluconku sepertinya tak seheboh dia. Lagi-lagi apa yang aku katakan dianggap remeh dan tak ada yang mendengarkan. Apa tak ada yang mau menghargaiku walau sedetik? Aku tidak gila hormat, tapi aku hanya minta seteguk perhatian. Pilihan untuk diam itu lebih tepat. Mencoba bertahan.
***
Seperti biasa, kegemaran memanjat atap rumah tetangga kembali ku lakukan di kala senja. Saat ranum-ranum jingga menyerbak di ufuk senja. Angin berhembus semilir menusuk dinding pori-pori kulit. Menembus aliran darah yang seperti genderang mau perang. Menyepi itu surga bagiku.
Senja yang semakin sunyi langit mulai memerah matahari mulai berpamitan. Terdiam aku sendiri saat rembulan mulai menyapa.
“Apa artinya hidup ini? Apa yang salah pada diri ini? Sehingga semua enggan mnghampiri untuk mnegerti. Dianggap hanya saat mereka ingin berpoligami.”
Kembali teringat masa-masa saat SMA. Layaknya kekasih yang merasa diduakan. Betapa hati sangat gundah gulna. Begitu juga diriku yang terlanjur diduakan oleh jiwa-jiwa bahagia. Aku ada jika dibutuhkan, disayang jika diperlukan, dilupakan saat semua bahagia. Senyumku untuk mereka rinduku padanya, namun hati terluka. Mendung tak berarti hujan. Tapi saat ini mendung di hati meniti hujan di pipi. Doaku tiada henti. Semua orang tak mau mengakui.
Sebentar lagi aku harus melanjutkan pendidikan di kota kenangan itu. Mungkin di kota aku kembali mendapat kebahagiaanseperti dulu.
Lagi-lagi cerita meleset dari sebuah rancangan skenario. Daerah yang sampai saat ini menjadi domisiliku, ternyata masih saja dipandang sebelah mata oleh khalayak. Madura juga Indonesia. Lantas apa yang salah?
“Tuhan, cukup aku menunduk malu atas hinanya diri ini. Mengapa hinaan lain mulai menghampiri?”
“Hai, saudaraku tidakkah kau mengerti, semua tak selamanya seburuk ceritra.”
Mereka dengan bangga tersenyum dari sebuah anggapan remeh terhadap daerahku. Bukan tidak mungkin, jika kelak Madura mampu tersohor oleh kesuksesan bibit-bibit unggulnya.
***
Dari ketinggian ini aku berjanji. Kupejamkan mata, merentangkan tangan dan mengepalkan jari-jemari.
“Aku bukanlah yang sempurna. Tapi mendekati kesempurnaan adalah inginku. Madura bukanlah dunia beda yang biasa dihina dan dipandang sebelah mata. Madura juga bagian Indonesia. Dari kota ini akan ku buktikan, Madura juga punya realita yang tak terduga. Aku ingin membawa rakyat Madura menjadi rakyat yang pandai dan penuh cinta. Kami tidk bodoh. Kami mampu bersaing dengan dunia bebas. Jangan hina, jangan remehkan.”
Dengan janji ini kukepakkan sayap-sayapku dan ku akan terbang ke mana saja ku mau. Ketika sayap ini patah, maka aku akan jatuh ke bawah. Separuh hidupku terselubung oleh mendung. Akankah mendung itu selamnya akan menyelimuti hatiku? Ah..tidak..aku tentu tak mau. Janji telah mengikat kalbu. Lantas ku tiup mendung-mendung itu. Kuambil rembulan dan ku eratkan di dalam kalbu ini.


Oleh: Huswatul Hasanah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar